Stres dan Saluran Pencernaan

Penulis : Yockie Dheafithraza, Apt.

   

Seberapa sering kamu mengalami gangguan pencernaan seperti mual muntah, heartburn, keram pada perut, diare atau konstipasi? Apakah hal tersebut ada hubungannya dengan kondisi psikologi kamu, khususnya stres? Apakah benar stres dapat menyebabkan gangguan pencernaan? Apakah ada hubungan dari kedua hal tersebut?

Menurut Richard (2010) stres merupakan kondisi dengan tuntunan emosi yang berlebih. Robert Sapolsky, seorang ahli stres dari Universitas Stanford dan penulis buku terlaris Why Zebras Don’t Get Ulcers (Henry Holt and Co., 2004),  menyatakan diskusi tentang stres dan gangguan saluran pencernaan.

Bisa terjadi hal demikian karena otak dan saluran pencernaan kita memiliki koneksi yang sangat kuat. Otak dan saluran pencernaan memiliki banyak serabut saraf bahkan lebih banyak dibandingkan dari sumsum tulang belakang. Dengan banyaknya susunan saraf tersebut saluran pencernaan kita dijuluki dengan “otak mini” yang bernama “Brain-gut axis”.

Saraf-saraf tersebut dihubungkan dengan adanya neurotransmitter (penghantar), salah satunya adalah serotonin yang merupakan neurotransmitter pengatur mood dan suasana hati, ditemukan sebanyak 95% dalam saluran cerna. Pada lambung, serotonin dihasilkan oleh sel enterocromafin dan jika serotonin berikatan pada reseptornya maka akan menyebabkan mual muntah. Hal tersebut merupakan salah satu gangguan lambung yang cukup mengganggu.

Selain itu, pada saluran pencernaan itu sendiri, pada saat keadaan tertekan tubuh mengeluarkan hormon Corticotropin-Releasing Hormone (CRH) untuk memberitahu kelenjar adrenalin untuk memberikan kekuatan dan energi demi bisa menjalani kehidupan yang penuh tekanan ini. Namun, CRH juga mematikan nafsu makan, sehingga timbulah masalah lainnya seperti peningkatan asam lambung. Terjadi peningkatan asam lambung ini tentunya akan berefek panjang, yang paling ringan adalah rasa nyeri pada perut bagian atas dibarengi dengan kembung yang biasanya orang bilang dengan “Penyakit Maag”. Selain gangguan di lambung, stres juga dapat memengaruhi bagian usus. Masalah usus yang timbul akibat stres biasanya adalah Irritabel Bowel Syndrom (IBS). Stres dapat menyebabkan IBS karena stres dapat menyebabkan kontraksi tidak terkoordinasi dan membuat pikiran lebih peka terhadap rasa sakit di usus, sehingga kontraksi yang normal saja dapat terasa tidak menyenangkan.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan/ atau mengobati hal tersebut? Yang paling penting adalah menghindari penyebab dari stresnya. Menurut sebuah laporan dari University of North Carolina, sebanyak 80% orang dengan IBS atau masalah pencernaan fungsional lainnya tidak pernah mendiskusikan gejala mereka dengan dokter. Itu disayangkan, karena dokter tentu dapat meresepkan obat untuk mengembalikan sistem pencernaan ke jalurnya. Seorang dokter juga dapat memeriksa penyakit yang mendasari yang mungkin menjelaskan gejala.

Jika dokter tidak dapat menemukan penjelasan fisik untuk masalah pencernaan kamu, kamu mungkin perlu menenangkan pikiran sebelum dapat menenangkan saluran pencernaanmu. Tanyakan kepada dokter apakah kamu akan menjadi kandidat yang baik untuk terapi perilaku kognitif, terapi interpersonal, terapi relaksasi, atau bentuk konseling lain. Kamu dapat melakukan bagianmu untuk melawan stres dengan makan dengan baik, berolahraga teratur, dan tidur yang cukup.

      

Sumber :

  1. Woolston, Chris. 2018. Stress and the Digestive System. Avaiable online at https://consumer.healthday.com/encyclopedia/digestive-health-14/digestion-health-news-200/stress-and-the-digestive-system-645906.html (Diakses online pada 27 Agustus 2018)
  2. Sapolsky, Robert M. 2004. Why Zebras Don’t Get Ulcers.Third Edition. Henry Holt and Co.
  3. Mayer, E A. 2000. The neurobiology of stress and gastrointestinal disease. Gut: first published as 10.1136/gut.47.6.861.
  4. Richard L. 2010. Era baru manajemen, Edisi 9, Buku 2. Salemba Empat: Jakarta.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*