Saluran cerna selain berfungsi sebagai tempat masuk dan mencerna makanan juga berfungsi sebagai tempat pengeluaran hasil sisa pencernaan. Faktor psikologis atau psikis seseorang diyakini memiliki peran penting terhadap gangguan ataupun perjalanan penyakitnya. Pada beberapa gangguan psikis, akan timbul gejala pada proses pencernaan, yang terkadang menyebabkan orang berfikir ada yang salah pada pencernaannya. Pada artikel ini akan dibahas beberapa gangguan pada saluran cerna yang dapat dipengaruhi oleh faktor psikis.
.
Dispepsia Fungsional
Dispepsia fungsional adalah suatu keluhan rasa tidak nyaman pada ulu hati dengan beberapa gejala lain yang berhubungan dengan adanya luka pada saluran cerna bagian atas yang menahun dan berkaitan dengan makanan, namun pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya kelainan pada organ-organ. Gejala dispepsia, diantaranya nyeri dan rasa terbakar pada ulu hati, rasa penuh setelah makan atau mudah kenyang, pembesaran pada perut terutama pada area lambung, mual dan muntah yang biasanya hilang timbul. Pada keadaan ini, psikis akan memengaruhi perubahan kerja organ saluran cerna, gejala yang timbul, karakter dan perjalanan penyakit, serta perkiraan perkembangan penyakit sehingga menimbulkan beberapa keadaan, seperti:
- Peningkatan produksi asam lambung
- Perlambatan gerak lambung
- Penurunan aliran darah pada permukaan lambung
- Penurunan saraf dan sensitifitas terhadap rasa nyeri pada lambung
Sementara, sebuah pengelompokan yang dinamakan sebagai kriteria ROME IV menyatakan bahwa dispepsia fungsional merupakan keadaan keluhan pada saluran cerna yang menetap atau hilang timbul selama durasi lebih dari tiga bulan dalam enam bulan kebelakang, tidak ditemukan adanya kelainan pada organ dan tidak menghilang setelah buang air besar (BAB) atau disertai perubahan pada pola buang air besar. Diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan jika ditemukan adanya gejala pada saluran cerna setelah dilakukan penyaringan dari beragam keluhan saluran cerna bagian atas dan organ perut bagian atas.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menyaring adanya kelainan organ yang mengakibatkan keluhan dispesia adalah endoskopi, ultrasonografi, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Pada beberapa penelitian yang dilakukan dengan melakukan endoskopi saluran cerna menemukan bahwa tidak ditemukan adanya kelainan pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional. Oleh karena itu faktor psikis dinilai berperan menimbulkan gangguan saluran cerna.
Selain itu, timbulnya cemas dan depresi pada pasien gangguan saluran cerna yang tidak terdapat luka memiliki peran yang cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya kekhawatiran terhadap keluhan yang berulang. Karena adanya keterkaitan faktor psikis yang memperberat inilah, diyakini bahwa diperlukan adanya pendekatan fisik dan psikis dalam menangani pasien-pasien dispepsia.
Beberapa hal yang mungkin menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional, diantaranya:
- Faktor riwayat keluarga dan genetik
- Stress psikologis
- Gangguan saraf pada saluran cerna
- Paska infeksi
Dalam penanganan psikosomatik perlu diperhatikan faktor fisik, psikososial, dan lingkungan. Oleh karena itu, selain pemberian obat-obatan yang berhubungan dengan saluran cerna dan pengaturan pola makan, perlu juga dilakukan psikoterapi untuk mengatasi stress terhadap penyakit yang dirasakan serta permasalahan psikis dan sosial yang dihadapinya. Untuk beberapa keadaan, seperti telah didiagnosis adanya depresi dan cemas, atau keluhan berulang, dan tidak merespon terhadap beberapa pengobatan pada saluran cerna, maka dapat diberikan obat anti depresi dan anti cemas.
.
Gangguan Saluran Cerna Bagian Bawah yang berhubungan dengan Psikis
Gangguan pada saluran cerna bagian bawah dapat berupa adanya hambatan pada jalannya gerak usus sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan buang air besar atau terdapat peningkatan kecepatan gerak usus sehingga menimbulkan gangguan pada penyerapan air yang berdampak pada buang air besar cair. Kedua hal tersebut dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau juga pengaruh dari faktor psikis. Sebagai contoh, orang yang sedang murung atau sedih sering kali mengalami gangguan buang air besar. Sedangkan orang yang sedang marah atau cemas sering mengalami peningkatan frekuensi buang air besar.
.
Konstipasi psikogenik
Konstipasi psikogenik merupakan suatu keadaan kesulitan buang air besar hingga berhari-hari, yang normalnya dikeluarkan dalam waktu 24 jam, yang disebabkan oleh faktor psikis. Keadaan ini sering dialami oleh pasien yang mengalami kecewa, murung, atau putus asa. Pada keadaan ini diperlukan psikoterapi psikis. Dengan psikoterapi yang baik maka akan didapatkan perbaikan keadaan tanpa pemberian obat-obatan.
.
Diare psikogenik
Pasien yang buang air besar cair, baik ringan ataupun berat, dapat disebabkan oleh gangguan psikis. Beberapa gangguan psikis yang dapat menimbulkan buang air besar cair, seperti ketegangan jiwa, emosi, stress, dan frustasi. Faktor psikis tersebut akan memicu otak mengeluarkan rangsangan untuk meningkatkan gerakan usus. Hal ini akan berdampak pada makanan yang cepat dikeluarkan dan gangguan penyerapan cairan sehingga terjadi peningkatan frekuensi buang air besar dan dapat diikuti dengan buang air besar cair.
Penting untuk mengetahui apakah ada suatu permasalahan psikis dan sosial yang dialami pasien, baik disadari atau harus digali oleh dokter. Terkadang masalah psikis yang dirasakan merupakan permasalahan masa lalu yang tidak disadari oleh pasien. Biasanya keluhan yang ditimbulkan berupa buang air besar dengan frekuensi sering yang lembek dan jarang bersifat cair. Keluhan dapat disertai dengan nyeri perut dan buang gas. Jarang ditemukan BAB disertai dengan darah dan lendir, ataupun disertai dengan adanya panas pada badan. Keluhan-keluhan ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari selama masih mengalami gangguan psikis. Apabila keluhan selama beberapa hari tersebut diiringi dengan pasien kurang minum, maka dapat disertai adanya tanda-tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan tinja, radiologi, dan kolonoskopi biasanya tidak ditemukan adanya kelainan. Namun terkadang ditemukan gambaran usus besar yang keram pada gambaran radiologi. Pada pasien diare psikogenik dapat diberikan terapi psikoterapi untuk mengatasi permasalahan yang dirasakan. Dengan psikoterapi yang baik, pemberian obat-obatan terkadang tidak diperlukan.
.
Sindrom Iritasi Usus
Sindrom iritasi usus (Irritable bowl syndrom/ IBS) merupakan kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh beberapa faktor yaitu saluran cerna, psikis, dan hal-hal yang merangsang saluran cerna. Faktor psikis dan konflik di lingkungan sosial sangat berpengaruh pada pasien dengan sindrom iritasi usus. Penyakit ini akan memberikan keluhan rasa sakit atau rasa tidak nyaman pada perut dengan gangguan buang air besar yang dapat berupa sulit buang air besar atau buang air besar cair. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang tinggal dikota, perempuan, dan di usia diatas 35 tahun lebih sering mengalami kondisi ini.
Pada sindrom iritasi usus, terjadi gangguan pergerakan pada saluran cerna. Hal ini berhubungan dengan adanya stress, baik fisik maupun psikis. Terkadang terjadi pergerakan yang berlebih pada usus besar bagian bawah yang bersifat sebagian, bukan sebagai gerak usus yang sesungguhnya, sehingga menghambat pengeluaran buang air besar dan gas.
Keluhan yang dirasakan pasien sindrom iritasi usus berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada bagian perut yang berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam. Keluhan nyeri dapat seperti diremas ataupun ditusuk pada sisi kanan ataupun kiri perut yang akan berkurang setelah buang gas ataupun buang air besar. Keluhan ini setidaknya berlangsung selama tiga minggu dengan enam kali dalam satu tahun. Selain keluhan nyeri perut, terjadi gangguan buang air besar dengan gejala dapat berupa BAB cair, sulit BAB, atau bahkan keduanya terjadi secara bergantian. Keluhannya berupa sering ingin BAB namun hanya sedikit tinja yang keluar dan bersifat lembek. Keluhan lain dapat berupa bunyi perut yang kencang, sering bersendawa, sering buang gas, dan mual. Keluhan buang air besar cair biasanya lebih sering dirasakan pada pagi hari atau pada saat istirahat. Sebaliknya, pada sore hari keluhan perut kembung lebih sering dirasakan.
Keadaan ini sangat berhubungan dengan faktor psikis, oleh karena itu pasien sering datang dengan stress yang dialaminya. Pada perempuan, keadaan ini terkadang muncul menjelang datang bulan. Faktor psikis bukan merupakan syarat mutlak untuk diagnosis sindrom iritasi usus, namun apabila diketahui terdapat faktor psikis, penanganan dapat dilakukan dengan lebih baik.
Pengobatan yang dianjurkan berupa diet, psikoterapi, dan pemberian obat-obatan. Obat yang berpengaruh terhadap psikis hanya diberikan apabila disertai adanya indikasi. Penting untuk menghindari makanan dan stress yang dapat menimbulkan gejala. Diet tinggi serat dapat memperbaiki keluhan konstipasi. Pada keadaan kembung dapat diberikan psyllium atau metil selulosa. Sedangkan obat anti keram pada usus bertujuan untuk memperbaiki keluhan nyeri. Apabila disertai buang air besar cair dapat diberikan loperamid, dan bila sulit buang air besar dapat diberikan laksatif. Pada beberapa keadaan berat dapat diberikan obat-obat psikotropika untuk memperbaiki keadaan psikis.
Faktor psikis dapat menjadi akar permasalahan dari gangguan saluran cerna yang selama ini Anda rasakan jika dalam penegakan diagnosis oleh dokter tidak ditemukan masalah pada organ-organ terkait. Dengan mengetahui adanya faktor psikis, maka keluhan yang selama ini Anda rasakan dapat ditangani dengan baik.
.
Referensi
Hadi, Sujono. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Interna Publishing
Madisch, Ahmed. Et all. 2018. The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia. Deutsches Arzteblatt International Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 222-32
Mudjaddid, E. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V Dispepsia Fungsional. Interna Publishing
Mudjaddid, E. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V Sindrom iritasi usus . Interna Publishing
Talley, Nicholas J. 2017. Functional Dyspepsia : Advances in Diagnosis and Therapy. Gut and Liver Vol.11 No.3 May 2017, pp 349-357
Leave a Reply