Penulis: dr. Rabbinu Rangga Pribadi, SpPD, K-GEH
Divisi Gastroenterologi, Pankreatobilier dan Endoskopi Saluran Cerna, KSM/ Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
.
Pernahkah kamu mendengar dispepsia? Sebenarnya, apa sih dispepsia itu? Dispepsia adalah suatu rasa tidak nyaman atau sakit pada perut bagian atas tengah. Ketidaknyamanan tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut, yakni nyeri pada daerah ulu hati, rasa terbakar pada daerah ulu hati, rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang dan kembung pada saluran cerna bagian atas, mual, muntah, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat dialami oleh semua orang pada usia berapa pun.
Menurut penelitian, dispepsia terdiri dari dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Sebagian besar orang yang menemui dokter untuk mengetahui penyebab gejala seperti yang disebutkan diatas pada akhirnya didiagnosis menderita dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional didefinisikan dengan adanya satu atau lebih gejala dispepsia tanpa adanya kelainan pada struktur atau lapisan lambung dan duodenum yang diperiksa menggunakan pencitraan atau endoskopi. Lain halnya dengan dispepsia organik dimana pada pemeriksaan endoskopi didapatkan adanya kerusakan pada struktur saluran cerna atas. Dispepsia organik terdiri dari tukak lambung, tukak duodenum, gastritis, duodenitis, dan proses keganasan.
Siapa yang berisiko mengalami dispepsia?
Beberapa faktor risiko yang diduga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami dispepsia diantaranya perempuan, berat badan berlebih, kebiasaan merokok atau minum alkohol, memiliki gangguan cemas, stress, atau depresi, pola makan yang tidak teratur, adanya infeksi bakteri Helicobacter pylori pada saluran cerna, memiliki riwayat penyakit pencernaan seperti tukak lambung dan GERD, konsumsi obat steroid, dan obat anti nyeri golongan OAINS (obat antiinflamasi non steroid) dalam jangka panjang.
Bagaimana cara mendiagnosis dispepsia?
Untuk mendiagnosis dispepsia, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan yang dimulai dengan wawancara, pemeriksaan fisik, serta penunjang untuk mengetahui penyebab dan menyingkirkan diagnosis banding. Pertama-tama dokter akan menanyakan mengenai keluhan pasien, seperti apa nyerinya, sudah berapa lama memiliki keluhan tersebut, seberapa berat nyerinya, apa yang membuat keluhan lebih berat atau ringan, riwayat penyakit dahulu, riwayat makan dan minum, riwayat merokok, riwayat obat-obatan terutama golongan steroid dan obat anti nyeri, serta riwayat keluarga. Setelahnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik pada tubuh pasien. Informasi yang didapatkan dari wawancara dan pemeriksaan fisik akan dijadikan acuan oleh dokter untuk menentukan pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan. Pemeriksaan penunjang yang dapat disarankan oleh dokter untuk menegakkan diagnosis antara lain pemeriksaan darah, urea breath test (untuk mendiagnosis Helicobacter pylori), USG perut, dan endoskopi saluran cerna.
Apakah dispepsia merupakan suatu kondisi yang serius?
Dispepsia biasanya bukanlah suatu hal yang serius, namun terkadang bisa menjadi serius apabila didapatkan alarm symptom atau tanda bahaya. Tanda bahaya tersebut antara lain penurunan berat badan yang tidak direncanakan, sulit menelan makanan yang dirasa semakin memberat, muntah terus-menerus, adanya perdarahan saluran cerna, timbulnya gejala anemia, demam, adanya benjolan pada perut, riwayat keluarga menderita kanker lambung, dan gejala terjadi pada pasien diatas 50 tahun. Pada pasien dengan keluhan tersebut harus dilakukan pemeriksaan endoskopi segera untuk mengetahui penyebabnya.
Meskipun dispepsia tidak berhubungan dengan peningkatan angka kematian, kondisi ini dapat menyebabkan kualitas hidup seseorang terganggu. Oleh karenanya pencegahan dan pengobatan yang tepat amat penting bagi penderita dispepsia.
Bagaimana pengobatan dispepsia?
Dispepsia dapat ditangani apabila penderita konsisten untuk menjalani gaya hidup yang sehat dan mengonsumsi obat-obatan yang tepat dengan durasi yang benar sesuai anjuran dokter. Pada penderita dispepsia yang belum dilakukan pemeriksaan endoskopi atau telah dilakukan endoskopi dengan hasil tidak adanya kerusakan struktur saluran cerna atas, maka obat-obatan seperti penghambat asam, prokinetik, dan antidepresan dapat menjadi pilihan. Apabila pada pemeriksaan lanjutan didapatkan adanya infeksi Helicobacter pylori, maka pasien dapat diberikan antibiotik yang sesuai dari dokter. Jika pada pemeriksaan endoskopi didapatkan adanya kerusakan pada struktur saluran cerna atas, maka terapi yang diberikan disesuaikan dengan kelainaan yang ditemukan.
Dispepsia fungsional dapat hilang dan kambuh. Studi menunjukkan bahwa 15% hingga 20% pasien mengalami gejala yang menetap selama pengobatan, sementara 50% mengalami resolusi gejala yang sempurna. Dari studi ini, dapat kita ambil pelajaran bahwa penting untuk penderita dispepsia melakukan gaya hidup sehat selain mengonsumsi obat-obatan. Beberapa tips yang dapat dijalani untuk mencegah dan mengurangi gejala dispepsia antara lain jaga berat badan ideal, jaga pola makan dengan membatasi makanan terlalu pedas dan tinggi lemak, batasi minuman bersoda, kafein, dan alkohol, tidak merokok, kelola stress dengan baik, dan hindari langsung berbaring setelah makan.
Referensi
Miwa H, Nagahara A, Asakawa A, Arai M, Oshima T, Kasugai K, et al. Evidence-based clinical practice guidelines for functional dyspepsia 2021. J Gastroenterol. 2022;57:47-61.
Syam AF, Miftahussurur M, Makmun D, Abdullah M, Rani AA, Siregar GA, et al. Management of dyspepsia and Helicobacter pylori infection: the 2022 Indonesian Consensus Report. Gut Pathog. 2023;15:25.
Syam AF, Simadibrata M, Makmun D, Abdullah M, Fauzi A, Renaldi K, Maulahela H, Utari AP. National Consensus on Management of Dyspepsia and Helicobacter pylori Infection. Acta Med Indones. 2017;49:279-287.
Leave a Reply