Inilah Alasan Mengapa Sebaiknya Tidak Berbuka Puasa dengan Gorengan

Sumber gambar: pixabay.com

Berkumandangnya azan magrib saat bulan Ramadan adalah hal yang ditunggu-tunggu bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa, karena selama kurang lebih 14 jam mereka telah menahan lapar dan haus. Kurma, es kelapa muda, dan gorengan seakan menjadi hidangan wajib yang disajikan sebagai menu untuk berbuka puasa. Berbagai macam gorengan seperti bakwan, tempe goreng, tahu goreng, cireng, martabak dan gorengan lainnya merupakan makanan yang tidak asing ditemui di meja makan saat berbuka puasa. Selain rasanya yang enak dan gurih, gorengan juga mudah dibuat, dibeli, dan cenderung murah.

Gorengan dan makanan berminyak biasanya mengandung tinggi kalori, lemak, garam, tetapi rendah serat, vitamin, dan mineral. Dibalik rasanya yang enak, makan gorengan memiliki dampak negatif bagi kesehatan termasuk mengganggu saluran cerna Anda. Menu makanan yang kurang sehat saat bulan Ramadan dapat menyebabkan keluhan pencernaan seperti sakit perut, kembung, bersendawa, mual, dan kenaikan berat badan yang tidak diinginkan. Apalagi jika kebiasaan tersebut rutin Anda lakukan setiap hari selama bulan Ramadan. Tahukan Anda jika sebenarnya makanan gorengan dan berminyak tidak disarankan dikonsumsi saat Anda berbuka puasa?

.

Baca juga: Tips Sehat Berpuasa agar Terhindar dari Gangguan Saluran Cerna!

.

Mengapa tidak disarankan mengonsumsi gorengan ketika berbuka puasa?

Makanan berminyak lebih sulit dicerna oleh tubuh
Gorengan mengandung tinggi lemak dan minyak. Di antara karbohidrat, lemak, dan protein, lemak adalah makronutrien yang paling lambat dicerna. Kandungan tinggi lemak yang dikandung tersebut membuat gorengan sulit dicerna oleh saluran pencernaan. Makanan tersebut pada akhirnya menghabiskan waktu lebih lama di perut sehingga dapat menyebakan perut Anda terasa begah, kembung, dan mual. Ketika perut seharian kosong dan Anda memilih menyantap gorengan sebagai menu pertama buka puasa, maka saluran pencernaan akan bekerja lebih keras untuk mencerna makanan tersebut dan pada akhirnya dapat mengganggu kinerja saluran pencernaan Anda. Selain sulit dicerna, gorengan juga kurang mengandung gizi yang baik untuk tubuh. Sedangkan setelah berpuasa, Anda perlu memperkaya tubuh dengan berbagai nutrisi penting seperti protein, karbohidrat, serat, vitamin, dan mineral.

Dapat merangsang peningkatan asam lambung dan sembelit
Pada beberapa orang yang sensitif, berbuka puasa dengan gorengan dapat merangsang peningkatan asam lambung sehingga menimbulkan gejala perih dan rasa terbakar pada bagian perut atas. Pada pasien yang memiliki penyakit GERD (asam lambung naik ke kerongkongan), makan gorengan dapat memperparah gejala atau kekambuhannya, karena makanan tinggi lemak dapat menyebabkan katup antara kerongkongan dan lambung menjadi lebih sering mengendur yang cenderung membuat isi lambung naik kembali ke kerongkongan. Selain itu, sulitnya lemak untuk dicerna dan rendahnya kandungan serat pada gorengan dapat menimbulkan keluhan sembelit yang pastinya akan terasa tidak nyaman.

Punya keluhan sakit maag/ lambung/ GERD?
Isi survei kami di
bit.ly/surveiherbalYGI

Dapat mengganggu bakteri dalam usus
Diet tinggi lemak, seperti makan gorengan yang terlalu sering dan banyak juga dapat memengaruhi dan mengganggu mikrobiota atau bakteri dalam usus dengan meningkatkan jumlah bakteri usus yang tidak sehat dan mengurangi jumlah bakteri sehat. Hal ini tentu saja berdampak negatif bagi kesehatan saluran cerna Anda.

Dapat menyebabkan berbagai penyakit dan kanker
Ternyata, bukan hanya saluran pencernaan saja yang terganggu. Gorengan cenderung mengandung lemak trans atau lemak jahat karena dimasak dalam minyak yang banyak dan suhu yang sangat tinggi. Faktanya, lemak trans dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, dan obesitas. Menggoreng minyak dengan suhu yang tinggi juga memicu pembentukan sejumlah zat karsinogen atau zat yang menyebabkan kanker.

Selain karena tingginya lemak yang terkandung dalam gorengan, sebenarnya terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan gorengan tidak sehat bagi kesehatan. Seperti jenis minyak apa yang digunakan untuk menggoreng, sudah berapa kali minyak tersebut digunakan, seberapa banyak garam yang ditambahkan, dan metode masak yang digunakan (pan fried lebih baik dibandingkan deep fried). Seperti yang kita tahu, minyak yang sudah digunakan berkali-kali untuk menggoreng mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan.

.

Selama berpuasa, gula dalam tubuh Anda akan turun. Berbuka puasa merupakan waktu yang tepat untuk mengembalikan kadar gula dalam tubuh. Bukalah terlebih dahulu dengan air putih, kolak, dan buah-buahan seperti kurma, semangka, pisang, atau buah lainnya. Walaupun tubuh membutuhkan gula, bukan berarti makan dan minum yang mengandung gula tinggi menjadi pilihan utama. Jika Anda ingin sekali menyantap gorengan saat berbuka, sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, jangan memilih gorengan sebagai santapan pertama yang Anda makan saat berbuka puasa. Batasi jumlah dan frekuensi mengonsumsinya. Pertimbangkan untuk menggorengnya sendiri di rumah dengan minyak yang baru. Anda juga dapat mengubah cara mengolah makanan selain digoreng untuk berbuka puasa misalnya dikukus. Batasi konsumsi gorengan Anda mulai dari sekarang, ya!

.


Referensi
Ganesan, K., Sukalingam, K., Xu, B. 2017. Impact of consumption of repeatedly heated cooking oils on the incidence of various cancers. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 59(3):488-505.

Mahdieh Khodarahmi and Leila Azadbakht. 2016. Dietary fat intake and functional dyspepsia. Adv Biomed Res, 5:76.

Mushref, M. & Srinivasan, S. 2013. Effect of high fat-diet and obesity on gastrointestinal motility. Ann Transl Med,1(2):14.

WHO. n.d. Dietary recommendations for the month of Ramadan. Available at http://www.emro.who.int/nutrition/nutrition-infocus/dietary-recommendations-for-the-month-of-ramadan.html. (Diakses pada tanggal 26 April 2020).

Zhang, M. & Yang, XJ. 2016. Effects of a high fat diet on intestinal microbiota and gastrointestinal diseases. World J Gastroenterol, 22(40): 8905-8909.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*