Buang Air Besar Tidak Teratur? Mungkin Anda Mengalami Konstipasi

Sumber gambar: freepik.com

Penulis: dr. Budi Widodo, SpPD, K-GEH, FINASIM dan dr. Meridian
Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Univesitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

.

Konstipasi atau sembelit adalah suatu kondisi sulit buang air besar secara teratur, tidak bisa benar-benar tuntas, atau tidak bisa sama sekali, dan terjadi penurunan frekuensi buang air besar yang lebih sedikit dari biasanya. Secara umum, seseorang bisa dianggap mengalami sembelit apabila buang air besar kurang dari tiga kali dalam seminggu.

Konstipasi merupakan gangguan pergerakan usus akibat terganggunya fungsi persarafan motorik dan sensorik usus. Keluhan ini sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan biasanya mengacu pada kesulitan buang air besar yang terus-menerus (persisten) atau rasa tidak puas. Meskipun konstipasi seringkali hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini dapat menjadi berat dan mengancam nyawa. Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurang asupan serat, kurang asupan air, konsumsi obat-obatan, kurang aktivitas fisik, dan dapat merupakan gejala dari penyakit yang diderita.

,

Apa saja gejala konstipasi?

Gejala utama konstipasi adalah frekuensi buang air besar lebih jarang dari biasanya atau kurang dari tiga kali seminggu. Menurut kriteria ROME III tentang konstipasi, seorang pasien harus mengalami setidaknya dua gejala berikut dalam tiga bulan terakhir atau sudah dimulai sejak enam bulan sebelumnya:

  • Mengejan sedikitnya 25% dari buang air besar
  • Tinja keras sedikitnya 25% dari buang air besar
  • Sensasi tidak puas saat buang air besar
  • Terasa ada yang mengganjal pada rektum atau bagian paling akhir dari usus besar
  • Perlu bantuan untuk mengeluarkan tinja, seperti menggunakan tangan untuk mengeluarkan tinja dari anus
  • Buang air besar kurang dari tiga kali seminggu

Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda-tanda “alarm”, seperti penurunan berat badan, perdarahan rektum, atau anemia, terutama pada pasien usia lebih dari 40 tahun harus dilakukan sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan dugaan adanya penyakit struktural seperti kanker atau striktur. Striktur adalah kondisi terdapat penyempitan pada saluran suatu organ yang disebabkan peradangan atau masalah lain.

.

Apa saja yang menyebabkan konstipasi?

Konstipasi dapat dipicu oleh berbagai faktor, tetapi secara umum dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu konstipasi primer yang sering disebut konstipasi fungsional dan konstipasi sekunder.

  1. Konstipasi primer atau konstipasi fungsional, dikenal sebagai konstipasi idiopatik adalah konstipasi yang tidak diketahui penyebabnya, tidak memiliki penyebab fisik (anatomis) atau fisiologis (hormonal atau kimia tubuh lainnya). Konstipasi fungsional mungkin memiliki penyebab neurologis, psikologis, atau psikosomatik. Seseorang dengan konstipasi fungsional mungkin sehat, tetapi mengalami kesulitan buang air besar. Konstipasi fungsional adalah jenis konstipasi terbanyak. Secara umum konstipasi fungsional dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu normal transit constipation, slow transit constipation, dan outlet constipation.
    • Normal transit constipation atau konstipasi transit normal. Pada konstipasi transit normal, motilitas (gerakan) usus tidak berubah, tinja bergerak melalui usus besar dengan kecepatan normal. Mereka mungkin mengalami buang air besar setiap hari, namun mengalami kesulitan lain dalam buang air besar, misalnya tinja yang lebih keras, perut kembung dan tidak nyaman. Jenis konstipasi ini dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan psikososial.
    • Slow transit constipation atau konstipasi transit lambat. Pada jenis sembelit ini, motilitas usus menurun, dan waktu transit (waktu yang diperlukan untuk makanan untuk melewati dari awal hingga akhir saluran pencernaan) meningkat, yang artinya tinja bergerak melalui usus besar dengan laju lebih lambat atau menurun dan menyebabkan jarang buang air besar. Gejala sembelit transit lambat, yaitu pergerakan usus yang jarang, kembung, dan perut tidak nyaman. Salah satu penyebab utamanya adalah efek samping dari obat-obatan. Penyebab lain mungkin terkait dengan kondisi lain seperti disfungsi tiroid dan penyakit Parkinson. Stress juga dapat mematikan seluruh sistem usus.
    • Outlet constipation. Konstipasi outlet atau disfungsi dasar panggul. Pada jenis sembelit ini, terjadi kegagalan koordinasi otot-otot dasar panggul sehingga menyebabkan kontraksi anal (anus atau dubur) yang tidak sesuai, kegagalan relaksasi anal, atau mendorong (propulsi) tinja yang tidak efisien. Gejala-gejala konstipasi yang sering dirasakan, yaitu mengejan, buang air besar yang tidak mudah lewat, dan rasa tidak nyaman pada dubur.
  2. Konstipasi sekunder, adalah konstipasi yang disebabkan karena penyakit atau kondisi medis lain, misalnya hipotiroid, diabetes mellitus, ansietas, depresi, dan penyakit lainnya. Konstipasi sekunder juga bisa disebabkan karena efek samping penggunaan obat-obatan, kurang asupan serat, kurang asupan cairan, serta kurang aktivitas fisik dan olahraga.

.

Bagaimana cara untuk mendiagnosis konstipasi?

Dokter dapat mencurigai pasien menderita konstipasi jika terdapat gejala-gejala konstipasi yang didukung dengan temuan dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan rektum dengan jari atau yang disebut dengan digital rectal examination. Terkadang dokter juga memerlukan pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi diagnosis konstipasi dan untuk menentukan kemungkinan penyebabnya.

Berikut adalah pemeriksaan penunjang pada penderita konstipasi:

  • Laboratorium, untuk memeriksa darah perifer lengkap, glukosa, elektrolit (kalium dan kalsium darah), serta fungsi tiroid.
  • Kolonoskopi, untuk memeriksa kondisi usus dan rektum.
  • Foto polos perut, terutama dikerjakan pada penderita konstipasi yang terjadinya akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan usus. Impaksi feses adalah tertahannya tinja di dalam usus dan tidak secara normal keluar melalui buang air besar. Bila diperkirakan ada sumbatan usus, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan radiologi barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
  • Uji manometri, untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
  • Uji trans time, yaitu suatu bahan radio opak di usus, dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologi setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini ditemukan di rektum, menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di usus menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
  • Sinedefekografi, adalah pemeriksaan radiologi daerah anorektal untuk menilai evakuasi tinja secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal, dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum.

.

Pengobatan apa yang bisa dilakukan?

Jika sudah ditemukan tanda konstipasi, bisa dilakukan terapi non farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup maupun terapi farmakologi.

Terapi non farmakologis

  • Asupan cairan yang cukup dan diet tinggi serat. Rekomendasi asupan serat adalah 20 – 35 gram per hari.
  • Aktivitas fisik dan olahraga teratur.
  • Bowel training. Penderita konstipasi dianjurkan untuk buang air besar di pagi hari, saat usus besar dalam keadaan aktif dan 30 menit setelah makan, dengan mengambil keuntungan dari refleks gastrokolon. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB.
  • Apabila diketahui bahwa konsumsi obat-obatan menjadi penyebab konstipasi, maka menghentikan konsumsi obat dapat menghilangkan keluhan konstipasi. Namun pada kondisi medis tertentu yang tidak boleh menghentikan konsumsi obat, digunakan cara-cara lain untuk mengatasinya.

Terapi Farmakologis

  • Apabila terapi non farmakologis tidak mampu meredakan gejala, maka dapat diberikan obat-obatan seperti golongan obat bulk laxatives, laksatif osmotik, laksatif stimulan, dan agen prokinetik.
  • Sementara untuk konstipasi sekunder, penanganannya bisa dilakukan dengan mengatasi penyakit yang mendasarinya terlebih dahulu dan juga mengatasi konstipasinya.

Bedah

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.

.

Komplikasi apa saja yang bisa terjadi?

Pada umumnya, konstipasi jarang menyebabkan komplikasi, kecuali jika konstipasi terjadi dalam waktu yang lama. Beberapa komplikasi yang bisa terjadi, diantaranya:

  • Impaksi feses, adalah tertahannya tinja di dalam usus dan tidak secara normal keluar melalui buang air besar. Kondisi ini bisa terjadi saat terjadinya penumpukan tinja kering dan keras di rektum yang disebabkan oleh sembelit yang belarut.
  • Prolaps rektum, yaitu berpindahnya rektum dari posisi normal sehingga menonjol keluar dari anus akibat mengejan yang terlalu lama.
  • Fisura ani, yaitu kulit dinding anus robek karena mengejan terlalu lama dan tinja yang keras
  • Wasir, yaitu pembengkakan dinding anus akibat pelebaran pembuluh darah, bisa disebabkan karena aktivitas mengejan yang terlalu lama.

.

Bagaimana cara mencegah konstipasi?

Kombinasi diet tinggi serat, asupan cairan yang cukup, aktivitas fisik dan olahraga yang memadai, serta mencoba buang air besar di waktu yang sama setiap harinya dapat membantu mencegah terjadinya konstipasi atau sembelit.

.

Referensi
Panduan praktik klinis penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam

Constipation and defecation problem diakses pada tanggal 15 Juli 2019 https://gi.org/topics/constipation-and-defection-problems/

Diagnostic approach to chronic constipation in adults diakses pada tanggal 15 Juli 2019 https://www.aafp.org/afp/2011/0801/p299.html

The pathophysiology of chronic constipation diakses pada tanggal 15 Juli 2019 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3206564/

What is constipation diakses pada tanggal 15 Juli 2019 https://www.aboutconstipation.org/introduction-what-is-constipation.html

Yang, J., Wang, H.P., Zhou, L., Xu, C.F. (2012). Effect of dietary fiber on constipation: A metaanalysis. World Journal of Gastroenterology, 18(48), 713–738. Diakses pada tanggal 15 Juli 2019 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23326148

Constipation diakses pada 5 Agustus 2019 https://www.lifeextension.com/Protocols/Gastrointestinal/Constipation/Page-04

Are You Constipated diakses pada 5 Agustus 2019 https://www.n2physicaltherapy.com/blog/are-you-constipated/

2 Komentar

  1. Wah sangat informatif sekali. Tetapi saya memiliki beberapa pertanyaan:
    1) Disebutkan “pasien harus mengalami setidaknya dua gejala dalam tiga bulan terakhir atau sudah dimulai sejak enam bulan sebelumnya”. Agar dapat disebut menderita konstipasi, apakah ada frekuensi minimal bagi gejala-gejala tersebut muncul dalam kurun waktu tersebut?
    2) Kapan kita harus memeriksakan diri ke dokter? Apakah jika sudah mengalami gejala seperti yang telah disebutkan, atau ada ketentuan lain?
    3) Berapa asupan cairan yang cukup bagi tubuh? Dan apa sumber serat yang baik untuk mencegah terjadinya konstipasi?
    4) AKtivitas fisik apa yang paling baik untuk mencegah konstipasi?
    5) Bagaimana cara membiasakan bowel training jika tidak setiap pagi dan tidak setiap 30 menit setelah makan kita merasakan ingin BAB?
    6) Apakah terapi non farmakologis dapat dilakukan tanpa pengawasan dokter?
    7) Apakah penggunaan obat-obatan untuk mengatasi konstipasi secara mandiri (tanpa resep dokter) seperti meminum obat pencahar (ex: Vegeta Herbal) atau penggunaan obat sembelit (ex: Dulcolax) aman untuk dilakukan?
    Terimakasih
    Semoga pertanyaan saya dapat membantu menambah pemahaman pembaca artikel ini 😉

    • Terima kasih Nupiunyu atas pertanyaannya.
      dr. Budi Widodo, SpPD, K-GEH, FINASIM menjawab:
      1. Seseorang digolongkan mengalami konstipasi apabila gejala yang dirasakan seperti kriteria ROME III, yaitu minimal didapatkan 2 gejala pada pasien. Semakin banyak gejala yang dikeluhkan, semakin kuat dugaan menderita konstipasi.
      2. Periksa ke dokter bila kita sudah ada keluhan klinis (seperti perut kembung, penurunan berat badan, muntah), perubahan pola buang air besar dan bentuk tinja.
      3. Kebutuhan cairan kita disesuaikan dengan berat badan, aktivitas fisik, dan ada tidaknya penyakit yang melarang pemberian cairan seperti penyakit jantung atau penyakit ginjal. Dalam kondisi normal, cairan yang diperlukan tubuh pada seseorang dengan berat badan 60 kg dapat minum air sekitar 1500 cc. Dianjurkan air putih hangat-hangat kuku. Untuk sumber serat dapat mengkonsumsi sayuran hijau seperti daun singkong, daun pepaya, bayam, dan kangkung.
      4. Hindari terlalu banyak duduk atau tiduran. Diusahakan berjalan atau olah raga yang rutin
      5. Dengan membiasakan diri bowel training dipagi hari maka kita akan memberi rangsangan pada usus besar bagian bawah untuk mengeluarkan tinja, tetapi perlu diperhatikan apakah kita sudah makan dengan porsi yang cukup, atau apakah kita sudah cukup mengkonsumsi serat. Dokter akan menganjurkan bowel traning setelah menentukan jenis konstipasinya terlebih dahulu, tidak semua konstipasi dapat dilakukan bowel training.
      6. Terapi non farmakologis dapat dilakukan secara mandiri, sesuai yang tertera pada artikel. Terapi ini dianjurkan tetap dilaksanakan meskipun pasien sudah mengalami perbaikan konstipasi.
      7. Tidak dianjurkan minum obat-obatan sendiri, lebih baik minum obat pencahar sepengetahuan dokter.
      Semoga menjawab pertanyaanya, terima kasih.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*